h1

Kucing Kecil

Oktober 1, 2010

Udara siang yang panas. Terasa lebih panas karena belum makan seharian. Tubuhku bau, kotor dan ada beberapa luka cakar. Ini jauh sekali apa yang disebut dengan petualangan. Tidak. Aku tidak sengaja berpetualangan. Dulu aku kucing rumahan. Pemilikku yang dulu tiba-tiba mengidap alergi. Bulu-buluku membuatnya sakit.

Ya, aku jenis kucing kampung tanpa nama -ah kau mau memberiku nama?-. Pemilikku yang dulu melepaskan aku di pasar. Mungkin ia bermaksud baik. Ia tidak ingin aku kelaparan. Pasar. Tempat semua makanan di jual. Tempat ikan dan daging.

Tapi manusia tidak tahu. Pasar punya kebiasaan. Kucing-kucing pasar punya aturan. Jadi untuk ukuran kucing rumah sepertiku, pasar bukan tempat yang baik.

Sebagai contoh agar kalian mengerti apa yang kumaksudkan, begitu aku dilepaskan di pasar dengan berat hati aku mencari tempat teduh untuk bermalas-malasan. Perutku sudah kenyang sebelum dipaksa tangkap dan di bawa ke pasar. Jadi aku tidak begitu tertarik dengan bau ikan mentah dan daging segar. Lagi pula aku tidak terbiasa makanan mentah. Belum satu menit aku melingkarkan tubuh di bawah meja tukang jual sayur, tubuhku terlempar dengan keras ke dekat selokan.

”Uh kucing bau! Pergi sana!” kaki kecil penuh luka garuk menendangku.

Ku lihat ia tersenyum lebar dan melanjutkan perjalanannya menjual kantong kresek. Aku mengeluh pelan. Dan beranjak dari sana. Selokan itu penuh campuran bau yang tidak karuan. Lalu aku melihat sekumpulan kucing. Mereka duduk santai di atas meja jualan yang kosong. Aku berlari-lari ke arah mereka. Senang hatiku ingin bergabung bersama. Belum sempat aku sampai tujuan, cakar tajam meninju kepalaku keras.

Aku bersuara marah.

Satu lagi cakar putih mengincar bagian kiri kepalaku, aku mengelak dan balas menerkam si pembuat onar. Ia bertubuh lebih besar dan penuh luka-luka. Segera saja aku kalah dan penuh luka. Akhirnya dengan tertatih-tatih aku menemukan tempat yang sepi.

Namun, baru saja aku meletakkan ekorku, cipratan becek hitam mengenai tubuhku. Itu belum seberapa. Berhari-hari kemudian aku sering sekali kelaparan dan kedinginan karena diguyur orang.

Lalu aku bertekad untuk keluar dari daerah pasar.

Berpetualangan mencari rumah yang mungkin saja mau menerimaku.
Dari cerita-cerita yang kudengar, berpetualangan itu sungguh menakjubkan. Senangnya bertemu dengan orang-orang yang harum dan wangi. Serunya berlari-lari di bawah mobil yang berlari kencang. Kemudian saat lapar mendapatkan belas kasihan dari penjaga rumah makan.

Ternyata tidak semudah itu. Tidak semenarik yang kubayangkan.

Aku sempat di kejar-kejar oleh tikus got yang dua kali lebih besar dari tubuhku. Disiram air panas oleh tukang jaga rumah makan. Bulu-buluku banyak yang rontok. Sepertinya aku mengalami luka bakar ringan.

Belum lagi sengaja dilemparkan ke tengah jalan oleh seorang anak. Ia tak sengaja kucakar. Saat itu ada mobil yang melaju hingga hampir-hampir saja aku ditabrak. Lalu ada sekawanan kucing liar yang suka merebut makanan. Beberapa anjing yang hobinya menyalak. Membuatku gemetar. Juga masalah yang paling utama, rasa lapar dan letih. Aku kepanasan siang dan menggigil saat malam tiba.

Tapi aku tidak mau mati kelaparan. Seekor kucing hanya akan mati karena tua atau ditabrak mobil. Yah, itu yang seringkali terjadi pada kelompok kami. Jadi aku terus berjalan, berlari dan mengeong.

Aku mengendus harumnya makanan dari sebuah rumah berpagar putih. Sejenak aku enggan untuk masuk. Tubuhku masih sakit. Aku tidak kuat jika ada lagi yang berniat menendangku. Namun bau makanan dari dalam rumah itu terus tercium.

Kuputuskan untuk masuk. Paling tidak aku mencoba.

Jarak antara pagar dan rumahnya cukup jauh. Itu membuatku berpikir bahwa jangan-jangan bau makanan tadi hanya imajinasiku saja. Aku memanggil tuan rumah yang tidak kukenal namanya. Aku mengeong. Satu kali, dua kali, berkali-kali…tidak ada yang menjawab.

Aku berjalan ke belakang mencari pintu rumahnya yang lain. Ada! Aku kembali bersuara. Belum tiga kali aku mengeong, pintu belakangnya terbuka lebar. Seorang ibu-ibu tua yang tidak gemuk memandangku dengan penuh curiga. Aku mengeong sekali lagi. Kali ini selain ibu tua itu, keluar seorang anak kecil dengan rambut keriting tipis yang menjulang ke atas.

”Waaa Kucing Kecil! Kasian ya, Oma. Sebentar-sebentar…”
Ia berlari ke dalam. Aku berjalan mengikutinya namun ditarik keluar dengan halus oleh Oma.

”Sabar. Tunggu saja Hurina di sini,”senyum Oma padaku.

Oh, nama anak kecil itu Hurina?

”Makan-makan. Ayo Kucing Kecil, makan yang banyak…”Anak perempuan kecil dengan kulit putih dan rambut keriting jigrak itu meletakkan piring kecil warna hijau di depanku.

Aku mencium bau ikan goreng dicampur nasi panas. Menggiurkan. Tapi aku tidak segera makan. Aku berhati-hati. Aku tidak ingin saat makan dengan lahap, tubuhku tiba-tiba sudah berada di dalam karung. Seperti dulu.

Hurina mengelus kepalaku. Hanya sekali, karena setelah itu tangannya dipegang omanya.

”Tidak pegang-pegang kucing, Hurina. Liat, kucingnya penuh luka,” aku mendengar Oma melarangnya.

Uh. Aku juga tidak suka berpenampilan seperti ini.

”Kucingnya juga bau, Oma, kasian ya?”ujar perempuan kecil itu pelan.

“Iya, mungkin sudah lama di jalan. Kasihan ya, sudah tidak ada mamanya,”jawab Oma dengan penuh sayang.

Aku sudah mulai makan. Hidungku tidak pernah bohong. Makanannya selezat bau yang kucium dari jalan.

Setelah piringnya bersih kujilati, tiba-tiba tubuhku dipegang dengan kuat oleh dua tangan kecil. Aku bersuara kaget. Tubuhku berontak. Kepalaku mencari-cari yang bisa kugigit. Cakarku membuka.

”Awww! Omaaa, kucing kecilnya mencakar aku…!”jerit Hurina kencang.

Aku tidak bermaksud menyakitinya. Aku hanya tidak suka dipegang kencang-kencang di bagian perutku.

Sebuah tangan besar menjepit kulit bagian atas kepalaku. Dekat leher bagian atas.

”Begini kalau bawa kucing kecil seperti kalau ia dibawa sama mamanya,”Oma membawa aku sebuah tempat yang lebih nyaman.

”Oooh, begitu. Maaf ya kucing kecil,”tepuk-tepuk Hurina di dekat ekorku. Aku menjawabnya. Hurina tertawa kecil.

”Kita mandikan ya, Oma. Biar kucing kecil tidak bau,”
Aku tidak mengerti apa yang dimaksud anak kecil itu. Tapi kembali aku tersontak kaget dan melompat tinggi. Sayangnya tangan besar Oma lebih kuat dari aku. Aku berteriak panik. Suaraku hampir habis kukeluarkan.

Oma membawaku ke tempat berwarna hijau. Aku mencium bau air.

Belum sempat aku beraksi, air membuatku basah kuyup. Tubuhku dipakaikan busa. Baunya seperti manusia. Apa mereka ingin menjadikan aku manusia? Aku tidak suka air! Aku akan kedinginan dan sakit. Apa Oma dan Hurina tidak tahu? Siapa saja tolong hentikan ini!

”Lho? Apa yang sedang Oma dan Hurina lakukan?” sebuah suara berat dan dalam kudengar di antara jeritanku.

”Memandikan kucing kecil, Opa. Badannya bau,”

Suara berat dan dalam itu tertawa hangat. Aku mendengus membuat tanda tidak suka. Berharap mereka mengerti.
”Ayo Hurina, bantu Oma bawakan kain untuk mengeringkan kucingnya. Kali lain, kucing bau jangan dimandikan, nanti kucingnya sakit,”terang suara berat yang dipanggil Opa itu.

Aku terkekeh mendengarnya. Opa ini pintar.

Oma langsung mengangkatku. Semprotan air berhenti. Dan sepertinya Oma cepat-cepat mencari kain.

“Oh, maaf ya kucing kecil. Semoga tadi tidak terlalu dingin. Nanti ada susu hangat untukmu,” suara Oma terdengar menyesal.

Aku berhenti meronta-ronta. Tubuhku berusaha menikmati kain halus hangat yang membuat bulu-buluku segar. Aku memaafkan Hurina dan Oma. Manusia ternyata tidak semua tahu segalanya.

“Oma, aku boleh memeliharanya?”suara Hurina terdengar penuh harap. Telingaku tegak dan berharap sangat.

”Kita tunggu mama dan papamu pulang, yah? Kalau diizinkan, Hurina boleh bawa ke rumah. Tapi kalau tidak, biar kucing kecil ini tinggal dengan opa dan oma. Hurina nanti bisa sekali-sekali melihatnya,”

Oooh. Aku mendesah lega. Di sini atau di rumah Hurina yang kutahu telah kutemukan rumah yang nyaman. Kucing memang tidak boleh mati kelaparan, bisikku penuh senyum. Kardus yang nyaman membuat kuapanku lepas bebas. Kardus yang diberikan khusus untukku. Sepertinya petualangan memang menyenangkan, pada akhirnya. Bagaimana menurutmu?

“Oma, kucing kecil mendengkur,”bisik suara kecil dalam mimpiku.

Kucing bisa bermimpi? Ah, itu cerita lain yang nanti kuceritakan padamu. Lain waktu. Lain kesempatan.

Cerpen ini diikutkan dalam Lomba Cerpen Anak September Ceria 2010 yang di adakan oleh Kemudian.com dan bersama-sama 3 pemenang dan 6 cerpen terpilih lainnya diterbitkan dalam bentuk e-book.

Tinggalkan komentar