Semua kami berjejer merapat atas-bawah, berdiri-duduk, di kursi-melantai. Penuh. Sebenarnya tidak juga. Hanya kami harus menempel di dinding untuk menyisakan ruangan yang lumayan luas untuknya. Sudah hampir setengah jam ia berjalan hilir mudik untuk mempersiapkan segalanya. Tak ada satu pun yang boleh membantu. Limpi di sebelahku mencubit-cubit pahanya. Ia berusaha menahan diri tidak berlari menjulurkan kaki dan tangannya untuk menawarkan mengangkat sesuatu atau menjelma menjadi sesuatu. Dorta dan lainnya tadi terlihat tenang dengan biskuit kemasan yang mereka makan pelan-pelan.
Kini kemasannya seolah berisi cerita dongeng paling menarik karena berpindah-pindah dan dibaca dengan penuh perhatian. Yah, tidak ada yang ingin melewatkan detail cerita dongeng paling menarik, kan? Hal itu akan menjadi aib karena tidak ada yang perlu disampaikan pada anak-cucu selain cerita dongeng paling menarik yang kau baca. Tentu kemasan biskuit yang berwarna biru-kuning-merah seperti warna isi printer tidak berisi cerita dongeng paling menarik. Tapi membaca-mengedarkannya dan menunggu kemasan itu sampai di tangan, lumayan cukup mengalihkan dari apa yang sedang terjadi di tengah-tengah ruangan.
”Baiklah.”
Suara itu berhasil membuat semuanya sejenak berhenti bernafas. Memusatkan perhatian ke arahnya. Dan serentak membuat cengiran pemandu sorak.
Ia tersenyum lega dengan wajah merona.
“Sims ala sims ala bim!”
Ketukkan tiga kali di atas roti isi yang sebesar piring makan. Kepulan asap keluar dari tongkat berujung bintang. Mula-mula tipis kemudian menjadi lebih pekat. Lingkaran paling depan terdekat tersedak asap dan terbatuk-batuk. Beberapa menit diperlukan untuk menghilangkan asap. Semuanya kembali menahan nafas. Roti isi sebesar piring itu masih di sana. Menatap balik ke arah kami. Ah, hanya kiasan.
“Sims ala sims ala bim!” Ia mengulangnya sekali lagi.
Kali ini tidak hanya asap tapi ada bunyi letupan yang menyertai. Batuk-batuk terjadi lagi. Perlu beberapa menit lagi.
Roti isi sebesar piring itu benar-benar bebal.
Ia mulai menggigit-gigit kuku. Titik-titik keringat membuat dahinya mengkilap basah.
“Sims ala sims ala bim!” Ia belum menyerah.
Batuk semakin ramai, bersahut-sahutan dengan letupan yang sepertinya tidak akan berhenti.
Pertama kali yang terlihat adalah senyum lebar dan tetesan air matanya. Lalu ada Dorta, Limpi, Numan, Feti dan aku. Di sana. Di tengah-tengah ruangan. Berpegangan tangan, membungkuk dan memberi hormat layaknya pemain opera.
”Ap-a…” Sebelum selesai ujaran protes, para makhluk jelmaan menghilang dengan bunyi yang mengingatkan pada jagung yang dipanggang.
Semuanya bertepuk tangan. Si pesulap melompat-lompat liar. Limpi berlari ke tengah mengambil roti isi sebesar piring dan membagi-bagikan pada semuanya. Kecuali aku. Rasanya menjijikkan memakan sesuatu yang dapat menjelma menjadi sosok sepertimu.
”Itu tadi keren sekali,”ujar Dorta. Tubuh besarnya mengambil separuh bagian tempat duduk.
”Merapal tiga kali dan membuat jelmaan yang tidak bisa bernapas lebih dari lima menit. Itu kemunduran untuk ukurannya,” sela Limpi dengan mulut meneteskan minyak keju dari roti yang sedang dimakan. Ia baru selesai membagikan roti isi yang diambilnya dari dapur. Melihat tempat duduknya dikuasai Dorta ia mengalah dan duduk di lantai.
”Ia juga tidak melayang seperti biasanya,” sambung yang lain.
”Menjadi Ibu Peri tidak harus selalu melayang,”jawab Limpi cepat
”Akhir-akhir ini, ia juga selalu terlihat gemuk. Padahal ia paling bosan dengan model itu-itu saja.” Limpi mengangguk setuju. Dorta memutar kedua bola matanya.
”Apakah dia sakit? Tadi kulihat dahinya mandi keringat.”
”Jangan bercanda! Tidak ada Ibu Peri yang bisa merapal saat sakit,”tukas Limpi cepat. Beberapa suara dan anggukkan menyetujui.
”Tapi untuk apa ia membuat jelmaan kalian berlima?”
Nah. Itu juga yang menjadi pertanyaanku pada Ibu Peri. Ah, maksudku pada si tukang sulap. Selain membuat jelmaan adalah ilmu sihir tingkat tinggi yang dapat mengancam jiwa. Jiwa si tukang sulap, tentunya. Juga melakukan sihir-sihir semacam itu bisa menarik perhatian Kalangan Atas. Dan tidak ada yang ingin didatangi oleh salah satu dari mereka saat ini. Tidak aku atau Dorta atau Numan yang sedang memberi tanda yang entah apa pada kami.
”Aku ingin kau ukur lagi,” tepuk Dorta di bahuku. Ia memegang pinggangnya yang bertambah besar. Ia baru makan jadi wajar saja kalau menjadi besar.
”Caw, kau akan tampil lagi Dorta? Sebagai apa? Boneka beruang yang lucu itu?”
Dorta tertawa. ”Aku tidak akan bisa lebih lucu lagi kalau Limpi menghidangkan kita makanan-makanan yang enak setiap hari.”
Limpi tersenyum lebar.
”Caw, Limpi…aku ingin menanyakan resep kripik pisang keju yang kemarin itu…”
Dan semua hampir bersuara bersamaan menuntut perhatian Limpi dengan resepnya.
Cicit dan tubuh Limpi tenggelam di tengah kerumunan.
Tepat guna. Dorta dan aku pergi dalam diam.
Numan menantikan kami dengan kaki yang tidak berhenti mengetuk lantai. Mungkin ada lagi lagu baru yang harus kami pelajari jika ketukan kakinya menemukan bunyi yang indah.
”Cepat sedikit,” ujarnya menyambar tangan Dorta. Langkah kaki Numan terlalu cepat untuk diimbangi. Dorta berlari-lari kecil di sampingnya.
Kami berhenti di depan pintu berwarna merah emas. Dorta belum sempat mengatur nafasnya ketika pintu itu terbuka dan mengisap, memaksa kami untuk masuk.
Lalu ada laki-laki yang hanya kami kenal dari foto. Duduk di sebelah tempat tidur Ibu Peri dengan wajah yang muram. Siapa dia tidak ada yang pernah bertanya pada Ibu Peri. Anaknya, bapaknya, suaminya, ekhm, apakah pasangan itu disebut sebagai suami untuk peri? Ternyata ada banyak yang kami tidak ketahui tentang peri. Terlebih lagi tentang orang ini. Entah apa wajah dan postur tubuhnya selalu begini atau seperti Ibu Peri kami.
Perempuan itu bisa tampil dengan sosok gendut yang menggelung rambut pirang madunya rapih ke atas. Memamerkan leher katanya. Apanya yang perlu dipamerkan! Atau sosok ramping dipenuhi tulang dengan rambut pirang ikal sepinggang. Atau sosok indah yang berlekuk-lekuk dengan kaki jenjang dan rambut pirang sebahu yang halus acak. Yah, satu hal yang selalu sama, ia selalu berambut pirang. Entah pirang kemerahan, pirang madu, pirang jerami, pirang emas, segala pirang yang bisa membuat salon-salon berebut ingin tahu bagaimana caranya. Ia marah besar saat aku menyarankan ia tampil sesekali dengan rambut hitam bergelombang. Seperti seseorang dalam mimpiku. Bukannya aku ingin jatuh cinta pada Ibu Peri, tapi apa masalahnya sih? Ia toh selalu berganti-ganti bentuk tubuh, kulit dan wajah. Tetap saja kami mengenalinya sebagai Ibu Peri. Tak akan tertukar, sumpah!
”Mendekatlah ke ranjang, Ibu ingin meminta bantuanmu.” Laki-laki yang entah siapa itu menatapku. Maksudnya meminta bantuanku? Aku perlu didorong keras oleh entah Dorta atau Numan. Kakiku harus mencengkram kuat lantai hingga terdengar seakan menggoresnya. Tubuhku terlalu besar untuk sebuah ranjang peri. Bisa-bisa Ibu Peri tumpah dari ranjangnya akibat senggolan lututku.
Tapi tetap saja aku menyenggolnya. Tidak sengaja. Sungguh. Hanya saja. Sebentar. Udara di sekitarku terasa berkurang hingga tidak cukup lagi kuhirup. Sebentar. Mengapa Ibu Peri tertidur dengan sosok seperti itu? Satu dari yang kami ketahui, peri tidur dengan sosok aslinya. Dadaku sesak. Peri hanya tidur jika masanya hampir habis. Itu dua hal. Kepalaku berdenging. Setelah menyenggol ranjang Ibu Peri yang ternyata sangat kuat, tubuhku terduduk ke belakang.
Banyak kata yang ingin aku ucapkan. Tidak ada satu pun yang tepat untuk menjadi awal aku bersuara. Laki-laki yang-entah-siapa perlu mengeluarkan tongkat sihirnya ke arahku. Otak dan jantungku bergerak selaras, akhirnya. Ia membantuku seimbang.
”Ibu Peri membutuhkanmu,”ulang laki-laki itu..
Curang. Ibu Peri ternyata memiliki rambut yang lebih gelap dari malam. Ia cantik sekali dengan sosok aslinya.
Ibu Peri memanggil namaku pelan. Aku beringsut memanjangkan kepala. Wajahku terasa panas melihat sosoknya seperti itu. Juga merasa sesuatu jauh di dalam dadaku mulai berdarah. Rasanya perih.
”Tidak!” suaraku lebih keras dari yang kumaksudkan. Ibu Peri meminta hal yang tidak mungkin kulakukan.
Numan menampar belakang kepalaku. Dorta membelalakkan matanya yang telah penuh airmata. Pendamping laki-laki, begitu saja ia kusebut, diam tanpa ekspresi apa-apa.
”Aku bukan Kel.”
Laba-laba itu menjulurkan kakinya dari atas kepalaku. Aku bersin-bersin. Tidak berhenti hingga salah satu dari Numan atau Dorta berbelaskasihan mengangkat turunan dewa iseng itu dari atas kepalaku.
”Kau membantu atau kita berlima diminta bertemu Kalangan Atas,” erang Numan.
”Tentu Ibu Peri yang akan mendapat hukuman yang berat. Di masa akhirnya, kau tahu,” sungut Dorta menambahkan dengan cepat.
”Kenapa bukan Kel saja? Ia sudah belajar sulap sejak memerankan Ibu Peri?”
”Apa kau tidak bisa liat pantat besarku dan semua tangan-kaki yang kumiliki?” tuntut Kel geram. Ia tidak menyebut kemampuan sulapnya yang payah.
Otakku berputar. Tidak mungkin musibah ini terjadi pada diriku. ”Kita tidak akan dituntut karena membantu tugas Kalangan Atas. Kalau Kel tidak merupa Ibu Peri akhir-akhir ini, teman-teman bisa jadi gila. Kekacauan besar-besaran akan terjadi.” Semua mendengarkanku. Bahkan Ibu Peri membuka matanya yang sejak tadi tertutup. Kecuali saat ia berbicara denganku tadi.
”Kalangan Atas tidak bisa menghukum yang berbuat baik. Betul, kan?”tatapku pada si laki-laki pendamping.
”Tidak juga. Kau tahu hukum alam yang bernama butterfly effect?”
Dengusanku mengangkat ujung selimut Ibu Peri. Inginnya kukatakan tidak mengerti dengan apa yang baru saja ia sebutkan. Tapi daripada begitu, ”Kau tidak dapat memastikan hal itu,” elakku.
”Tentu saja ia bisa,” Numan lagi-lagi menamparku. Kali ini di bagian telinga. Walau aku selalu kalah jika berkelahi dengannya tetap saja rasanya aku ingin sekali mengajaknya berkelahi saat ini.
”Dia…anggota Kalangan Atas,”desis Dorta. Pelan namun cukup membuat jantungku berhenti. Persendianku melemas dan mataku berharap bisa berkedip. Cerita dongeng memberitahu kami bahwa paling tinggi kekuasaan sesuatu paling sederhana tampilannya. Kecuali pengarangnya norak. Si laki-laki pendamping ralat Si anggota Kalangan Atas ini berpenampilan seperti cerita-cerita dongeng itu. Sangat sederhana.
”Tidak ada jalan keluar. Mari kita lakukan.”
Turunan dewa sialan. Dorta memelukku. Numan membungkuk takzim, lagi-lagi sikapnya yang aneh itu. Anggota Kalangan Atas mengangguk padaku. Ibu Peri, sosok Ibu Periku tersenyum.
Baiklah. Mau bagaimana lagi?
Lalu hari-hari kami penuh dengan agenda-agenda tersembunyi. Teman-teman tidak curiga saat kami beritahu bahwa kami akan berlatih merupa dengan Ibu Peri. Semua dibagi dalam kelompok-kelompok. Ya, pada prakteknya kelompok-kelompok itu berlatih dengan Kel. Aku, Dorta dan Numan berlatih dengan si anggota Kangan Atas, kami belum diberitahu siapa namanya atau sebutannya. Bahwa sebelumnya dalam dongeng nenek moyang kami pernah melakukannya itu sungguh mempermudah. Bedanya, oh seandainya mereka tahu apa yang akan kami lakukan. Tepatnya yang akan aku lakukan. Entah apa yang akan terjadi dengan butterfly effectnya si anggota Kalangan Atas itu.
Waktu berjalan seakan sudah bertahun-tahun yang tidak ingin kuakhiri dengan hari ini. Hanya saja bukan seperti itu maksud bumi berputar, bukan?
Kami diantar ke atas sebelum kelompok-kelompok yang sudah dilatih Kel. Apakah perlu kuingatkan Kel merupa Ibu Peri jika berhadapan dengan teman-teman? Ya, itu dia. Menuju ke arahku dengan cara melayang. Oh, aku belum pernah melihatnya setinggi itu. Ia merapal. Lalu sekelompok teman-teman berubah menjadi kuda gagah rupawan. Merapal lagi. Mengubah labu menjadi kereta. Numan merupa kusir yang tangkas dan berwibawa. Boneka beruang Dorta telah bersamaku. Lalu Ibu Peri membuat sentuhan-sentuhan memukau untuk perhiasan kuda, perhiasan kereta, gaun yang cemerlang tidak ada duanya hingga sepatu kaca. Semua berlangsung lancar. Bahkan aku bisa merasakan hembusan nafas lega dari boneka beruang Dorta. Dan garis lega di pipi Numan.
Kami pergi menuju pesta. Ya, apa kau bisa mengingat cerita dongeng yang seperti ini? Laju kereta sangat nyaman di jalan berbatu. Memang beda jalan menuju istana dan jalan di daerah pedesaan. Walau bebatuannya berasal dari sungai yang sama. Aku hampir tertidur saat suara Numan memberitahuku telah sampai.
Aku menuruni kereta dibantu Numan. Seolah aku seorang yang tua renta. Bahkan anak-anak akan senang hati melompat dari kereta yang setinggi ini. Numan mengingatkan diriku untuk tersenyum. Butterfly effect. Aku memperbaiki peranku.
Tersenyum. Bersuara merdu dan mengagumkan setiap orang. Sebenarnya aku ingin bertanya bagaimana caranya aku mengenal dua orang saudara dan ibu tiriku di tengah-tengah para gadis cantik-cantik dan berkilau seperti ini? Ternyata mudah. Mata adalah jendela hati, kata manusia. Dari mata mereka kulihat kekosongan hati. Kuputuskan tidak perlu menyapa mereka. Lagipula mereka tidak mengenal diriku, kan?
Denting piano menghentikan acara minum-makan dan kelompok-kelompok bergosip. Seseorang dengan pakaian penuh tanda jasa mengumumkan acara dansa. Lalu mulailah laki-laki yang tidak begitu tampan berdansa di tengah-tengah ruangan dengan putri yang dipilihnya. Dialah pengeran. Setiap dua baris lagu, pangeran mengulurkan tangannya atau memindahkan pasangan dansanya ke laki-laki yang siap sedia di sampingnya. Begitu terus yang terjadi. Lagunya berganti namun tetap saja waktu pergantiannya tiap dua baris. Lalu tepat jam dua belas kurang sepuluh menit, pangeran menuju jajaranku. Dua baris-berganti. Ia menatapku. Dua baris-berganti. Pangeran tersenyum padaku. Mengapa ilmu sihir anggota Kalangan Atas itu tidak bisa mengubah jiwaku menjadi jiwa putri? Aku merinding melihat senyum pangeran itu. Dua baris-berganti. Masih dua putri lagi. Aku ingin pergi menghindar. Dua baris-berganti. Putri di sampingku menatap sang pangeran dengan kerlip memuja.
Dua baris telah lewat. Oh? Kali ini aku yang panik. Apa yang terjadi? Apakah wajahku dipenuhi bulu-bulu? Dua baris lagi. Para ibu mulai mendesah kecewa. Ibu di belakangku menahan kikik bahagia. Mungkin ibu sang putri yang sedang berdansa lebih dari dua baris dengan sang pangeran. Waktu terus berjalan. Hingga jam dua belas tinggal beberapa menit lagi. Aku mendongak melihat jam besar itu. Ada sesuatu yang kulupa.
”Tidak kali ini.”Suara berat dan wajah senyum sang pangeran terpisah beberapa senti saja dari wajahku.
”Apa?” tanyaku kaget.
Ia mengulurkan tangannya untuk berdansa. Aku menerimanya setengah linglung. Berusaha mengingat sesuatu yang ada hubungannya dengan jam.
”Tidak pergi lagi dariku, Putri,” ujarnya dengan senyum kemenangan.
Dentang jam besar itu membuatku terkejut. Pangeran menatapku lama.
”Ah, ternyata aku melakukannya dengan benar.” Ia mengangkat sebelah tanganku dan memutar tubuhku pelan. Ada yang mengatakan begitu cara pangeran menyatakan telah memilih sang putri pasangan hidupnya.
Aku berputar.
Jam berdentang hingga kali yang ke duabelas.
Aku menyadarinya. Kel! Ia lupa merapal sampai batas kapan aku merupa.
Semua orang bertepuk tangan memberi selamat pada pangeran.
Kel! Oh, Kel!
Lalu orang yang memakai beragam tanda jasa itu mengumumkan hal yang paling menjijikkan sedunia.
Pangeran boleh mencium pasangannya.
Oh, jika saja ia tahu.
Pangeran memeluk tubuhku erat. Kel! Dasar turunan dewa yang tidak berguna!
Anda harus log masuk untuk menerbitkan komentar.